KH. Abdul Bashir Muchtar, MA: Murid Pertama Abuya Dimyati Banten, Permata Tersembunyi Dari Jepara

Dari Lirboyo hingga Madinah

K.H. Abdul Bashir Muchtar, M.A, akrab disapa Abah Bashir, lahir di Jepara, 15 Desember 1954 dari pasangan Nyai Masruroh dan Kiai Muchtar. Ayah beliau merupakan seorang tentara pejuang kemerdekaan sekaligus Kiai yang membina umat di daerah Pancur, Mayong, Jepara.

Dari ayah kandung, beliau memulai belajar Al-Qur’an, lalu melanjutkan mengaji kitab turats ilmu-ilmu Islam dari beberapa Kiai di Jawa Tengah, seperti Kiai Muslim Robayan (santri Kiai Hasbullah Balekambang), Kiai Turmudzi Purwogondo (Santri Mbah Ma’shum Lasem), dan Kiai Arwani Amin Kudus (30 juz Al-Qur’an samaán minhu).

Pada tahun 1971-1973, beliau nyantri di Madrasah Hidayatul Mubtadiin Lirboyo dibimbing oleh KH. Idris Marzuqi, Kiai Anwar Mashum, Kiai Abdul Aziz. Di tahun yang sama, beliau yang akrab disapa Abah ini mengaji Riyadhus Sholihin kepada Kiai Marzuqi, dan mengaji Shohih Bukhori kepada Kiai Juwaini Pare (santri Kiai Hasyim Asy’ari).

Selanjutnya, beliau mendapat sanad Al-Qur’an sekaligus menjadi murid pertama yang mengkhatamkan Al-Qur’an bil hifdzi dengan Abuya Dimyathi Banten di Pesantren Cidahu Raudhotul Ulum (1974 awal – 1976 akhir). Bersama Abuya Dimyathi, beliau juga mengaji Ihya Ulumuddin, Sirojul Qori Syarh Syatibiyyah, Sab’atu Kutub Mufidah, serta mendapat ijazah Dalail Khoirot bish Sholawat.

Dengan berbagai proses yang dilalui, sekitar tahun 1977 beliau berhasil berangkat ke Arab Saudi bermodal tekad yang kuat untuk melanjutkan menimba ilmu dengan menjual warisan dari ayah beliau. Selama dua tahun, beliau menimba ilmu kepada Syekh Sholeh al-Qozaz, Darul Hadits al-Makkiyah (Mustawa I’dady), Jami’ah Islamiyah (Mustawa Aliyah).

Abah Bashir lalu melanjutkan studi formal dengan beasiswa di jurusan Kulliyyatul Quran di Universitas Islam Madinah. Di bawah bimbingan Syekh Sibawaih al-Mishry, Syeikh Abdul Fattah Abdul Ghoni al-Qodhi (penulis kitab al-Wafi Syarh Matn asy-Syatibiyyah) dan lain-lain, Abah Bashir mengaji qiroat sab’ah, nadzm asy syatibiyyah, tafsir fathul qodir lisy syaukani, alfiyah ibnu malik, dan lain-lain hingga akhirnya lulus dengan predikat mumtaz dan mendapatkan beasiswa untuk studi program magister di universitas yang sama jurusan tafsir.

Kepada Syekh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani al-Makki, Abah Bashir juga berguru dan mendapat ijazah berupa sanad kitab, musalsal, hingga wirid-wirid. Pada tahun 2016, Syekh Fadhil al-Jailani berkunjung ke Al-Furqon Tulis Kudus dan memberikan ijazah wirid dan beberapa kitab karya Syeikh Abdul Qodir al-Jailani.

Berdakwah di Indonesia

Saat masih tinggal di Madinah, Abah Bashir dan istri sudah berazam akan mendirikan pesantren yang akan diberi nama Al-Furqon, terinspirasi dari al-Baqarah ayat 185. Setelah 10 tahun menimba ilmu di Makkah dan Madinah, beliau pulang ke Indonesia.

Sesampainya di Indonesia, terlebih dulu sang istri (Hj. Maskanah Zulfa) merintis TPQ Darul Qalam lalu membuat Musala dan beberapa kamar untuk persiapan tempat tinggal santri. Ratusan sepeda milik santri nonmukim terparkir di depan ndalem beliau, adalah pemandangan yang terihat di awal pendirian pesantren. Semakin lama semakin banyak santri yang berdatangan dari luar kota, bahkan luar pulau, hingga akhirnya kebutuhan pengadaan asrama yang lebih memadai menjadi keharusan.

Saat itu, santri tidak dibebani biaya tertentu sehingga biaya operasional menjadi tanggung jawab pendiri. Proses tersebut tentu tidak mudah dan bukan tanpa penolakan ataupun hambatan. Singkat cerita, pada tahun 1992, berdirilah Pesantren Al-Furqon Tulis dan MTs. Manbaul Ulum secara resmi.

Memerankan peran ganda sebagai penyandang dana, pengasuh, sekaligus pengajar harian di pesantren, bukanlah hal yang mudah. Di tengah peran tersebut, beliau juga menjalankan kewajiban menghidupi dan mendampingi keluarga, serta tugas mengajar di INISNU Jepara dan Madrasah NU BANAT Kudus. Dalam kondisi yang belum stabil, terkadang beliau absen mengajar ke luar pesantren apabila sedang tidak mempunyai ongkos transportasi menuju tempat mengajar.

Tawaran demi tawaran posisi strategis di kota besar hingga tawaran karir politik tetap beliau tepis dengan meneguhkan niat fokus berdakwah di desa baik langsung kepada masyarakat maupun melalui pesantren dan sekolah yang didirikan. Linimasa dinamika kehidupan beliau tuangkan dalam nama putra putri beliau sesuai nilai histroris pada masa kelahiran masing-masing.

Belajar Tanpa Henti, Tak Risau Karena Materi

Dibesarkan dengan didikan seorang tentara, beliau tumbuh menjadi seorang yang tegas, disiplin, pekerja keras, dan pantang menyerah. Merintis dakwah di pelosok dari nol di tengah berbagai resistensi, untuk seorang lulusan S2 luar negeri pada zaman itu, merupakan keputusan anti mainstream dan membuat banyak kawan beliau terheran-heran. Gus Yusron menceritakan bahwa Abah Hasyim Muzadi pernah dawuh, “Abahmu itu (Abah Bashir) orang yang tidak takut miskin (dalam perjuangan)”.

Menurut teman-teman beliau semasa kuliah, beliau adalah salah satu rujukan yang diminta tolong mengajari untuk persiapan ujian. Kecintaan beliau pada membaca juga membuat beliau membawa pulang kitab-kitab dan berbagai buku bacaan ke Indonesia. Padahal saat itu biaya kirimnya mencapai Rp 2.000.000,00 di mana harga emas saat itu masih Rp 12.600,00/gram. Rela meninggalkan barang-barang berharga lain, namun tidak dengan kitab dan buku.

Memang saat itu, dunia digital termasuk referensi digital belum berkembang seperti sekarang. Sesampainya di Indonesia, berbagai kitab dan buku ini kemudian ditata menjadi satu ke perpustakaan mini di ndalem, tempat beliau mudzakarah setiap hari.

Idealisme beliau pada khidmah Al-Qur’an juga diwujudkan dalam mendidik putra putri beliau yang semuanya merupakan penghafal Al-Qur’an. Beliau menekankan kepada ketujuh anak beliau bahwa Al-Qur’an adalah pondasi awal keilmuan. Hafalan Al-Quran inilah yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai bakat dan minat masing-masing tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Bahkan beliau sangat bersemangat mengajarkan ilmu-ilmu yang beliau dapatkan dari mulazamah dengan syekh maupun dari universitas kepada istri beliau.

“Istri saya adalah murid pertama saya yang kemudian mendidik anak-anak,” Demikian beliau pernah menyampaikan. Beliau juga sangat bersemangat membagi ilmu, seperti yang diceritakan Ning Syifa (salah satu putri beliau yang juga menantu dari Abah Hasyim Muzadi). Dalam menjawab pertanyaan istri dan anak-anak, beliau menjelaskan dengan detail seraya mengajak penanya menuju ke perpustakaan pribadi untuk langsung menunjukkan referensi kitab dan halamannya. Beliau juga memastikan pemahaman anak-anak dengan meminta diulangi apa yang telah dijelaskan.

Meskipun pola komunikasi beliau kadang terkesan kaku, beliau sering melemparkan candaan menggelitik. Beliau juga sangat perhatian terhadap istri dan anak-anak dan menerima apapun yang dihidangkan istri atau anak beliau tanpa mengeluh.

Ustaz Hilmi, salah satu dari pendidik di Pesantren Al-Hikam Depok, memaparkan bahwa Abah Bashir ialah sosok pejuang Al-Qur’an. Beliau tidak hanya memperjuangkan Al-Qur’an untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga untuk orang lain. Kepada Ustaz Hilmi, Abah Hasyim pernah mengungkapkan, “Kiai Bashir sukses menjadikan putra-putrinya hafiz dan hafizah. Ini perkara yang tidak mudah,” ujar Abah Hasyim kala itu.

Ustaz Hilmi kembali menjelaskan bahwa Abah Bashir ialah sosok yang gemar bersilaturahim. Beliau mempunyai buku catatan pribadi berisi mahasiswa-mahasiswa yang beliau kenal baik seangkatan maupun bukan (saat ini biasa disebut buku alumni atau buku tahunan). “Kita dapat meniru kebiasaan baik Abah Bashir tersebut, kita niatkan silaturahim, paling tidak, kita sering  mendoakan orang-orang,” ungkap Ustaz Hilmi. Selain merupakan ahli silaturahim, hal lain yang dapat kita teladani adalah istikamahnya beliau dalam membaca dan belajar, dzikir dan shalat malam hingga akhir hayat.

Detik Terakhir: Air Zam-Zam dan Basmalah

Pada momen terakhir mengajar para santri, beliau menjelaskan tentang surat al-Qasas: 83.

تِلْكَ ٱلدَّارُ ٱلْءَاخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَٱلْعَٰقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

 “Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertakwa”.

Di hari-hari terakhir, beliau sedang tekun mempelajari kitab tafsir as-Sya’rawi. Beliau yang biasanya mengakhiri dzikir pagi pada pukul 06.30. Namun, pada hari itu, berdzikir sejak subuh hingga pukul 08.00 WIB di atas sajadah. Beliau berpuasa, mengosongkan lambung dan buka dengan air zam zam yang diminum dalam tiga siklus.

Sebelum meminum air zam zam, seperti biasa beliau membaca basmalah 11 kali, salawat 11 kali, dan berdoa. Lalu dalam satu tarikan beliau membaca laa ilaha illa Allah dan menghembuskan napas terakhirnya di malam Jumat. Esok harinya, Jumat 25 November 2022 bertepatan Hari Guru Nasional, beliau dimakamkan.

Pada momen wafatnya Abah Bashir, Dr. KH. Ahmad Fathoni menyampaikan “Semoga semua amalnya diterima dan segala dosanya diampuni oleh-Nya. Almarhum adalah ahlul Qur’an, alim, wara’, zuhud, mujahid, dan rendah hati. Mudah-mudahan kita yang ditinggalkan dapat mewarisi keistimewaan-keistimewaan almarhum. Amin”.

(Sumber: Hj. Maskanah Zulfa, Gus Yusron Shidqi, M.Ag, Ning dr. Syifa Salma, dan H. Hilmi Ash-Shiddiqy, Lc., KH. Dr. Ahmad Fathoni, dan dokumen Al-Furqon Tulis Kudus)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top
× Hubungi Admin Yuk!